BEBAS BERKARYA | Janganlah pikiran kita terbelenggu dengan penilaian orang lain. Berpikirlah dengan merdeka, bertindaklah dengan tenang, dan bersikaplah menjadi dirimu sendiri.

Proses yang benar dan konsisten akan menentukan kualitas hasil yang didapat - PB 2010

Apakah Kulit babi Diharamkan Bagi Muslim?

ENDONESIA | Thursday, May 07, 2009 | 4 comments

Dalam sebulan ini saya sering mendapatkan email yang berhubungan dengan kulit babi pada sepatu dan sendal. Dalam pikiran saya kenapa dipermasalahkan ? oh mungkin karena kulit babi yah? sebab babi itu adalah hewan yang diharamkan jika dimakan. Nah...di dalam Al Quran itukan menekankan jika dimakan, tapi jika tidak dimakan bagaimana ?

Hari ini saya mendapatkan email yang membuka pikiran saya, bahwasanya Allah itu tidaklah serumit yang selama ini diperlihatkan oleh para ulama kita. Berikut emailnya:

HUKUM ISLAM TENTANG SEPATU SANDAL TERBUAT DARI KULIT BABI [1]

Beberapa orang diantara kita mendapat e-mail dari teman lain, yang menginformasikan bahwa beberapa sepatu dan sandal dengan merk terkenal seperti Clarks, Hush Puppies, Kickers, Puma, Next, BeeBug [ anak-anak ] dan Anyo [ anak-anak ] terbuat dari kulit "babi".Informasi ini didapat dari anggota milis yang sedang berada di UK (United Kingdom, Inggris). Informasi mengenai sepatu dan sandal terbuat dari kulit "babi" didengar seseorang langsung dari produsen (Clarks dan Hush Puppies). Kebetulan dia dan keluarga juga pernah punya sepatu merek Clarks dan ketika ditanyakan via e-mail ke produsen dan juga teman orang tsb di UK bertanya via telefon, dijawab bahwa beberapa produk mereka memang benar terbuat dari kulit "babi".Sekarang yang ingin ditanyakan adalah, apakah memakai sepatu atau sandal terbuat dari kulit "babi" tersebut diharamkan oleh Islam, karena ada pertanyaan menggelitik dari banyak orang bahwa yang diharamkan adalah memakan daging "babi", sedangkan memakai kulit atau lainnya tidak jelas.

HUKUM ISLAM TENTANG SEPATU SANDAL TERBUAT DARI KULIT BABI [2]

DALIL-DALIL

DALIL NAQLI BERDASARKAN PADA AYAT AL QUR`AN DAN AL HADITS


Dalam Al Qur`an yang diharamkan secara tegas bagi muslim adalah "lahma kinzir" atau "daging" "babi", dalam konteks makanan. Dan kedudukan keharamannya adalah pada peringkat ketiga setelah 'mayat' atau bangkai dan "dam" atau darah cair segar [ Q 2:173, 5:3, 6:145. 16:115 ].

Al Hadits menyebutkan bahwa:
Bangkai serangga bersih dari darah cair, spt semut, lebah, adalah halal, kecuali nyamuk pengisap darah.


Hati dan limpa adalah halal, kareha bukan darah cair.


Bangkai, darah cair segar, dan daging adalah halal sementara untuk dimakanminum dalam keadaan darurat atau terpaksa, asalkan dimakanminum tak berlebihan. Hal makanminumj darurat atau terpaksa dan tak berlebihan ini sesuai dengan ayat Al Qur`an [ Q 2:173. 6:145, 16:115 ].

Ayat-ayat Al Qur`an samasekali tak ada menyebutkan atau pun menyinggung sedikit pun tentang kulit "babi".


Al Hadits menyebutkan bahwa, rasulullah saw telah-berkata: ”Jika suatu kulit-binatang sudah disamak, maka dia telah suci.” [ HR Muslim dari Ibnu Abas ]

Hadits ini shahih, dan tak disebutkan bahwa ada pengecualian untuk kulit "babi".

. . .

sumber: Al Qur`an dan Al Hadits [Shahih Bukhariy dan Musliym ]

HUKUM ISLAM TENTANG SEPATU SANDAL TERBUAT DARI KULIT BABI [3]

DALIL-DALIL

DALIL 'AQLI BERDASARKAN PADA AL HADITS DAN INTERPRETASI ULAMA


Berbagai ulama berbeda pendapat dalam masalah penyamakan terhadap kulit dari binatang yang sudah mati. Terdapat tujuh pendapat dalam hal ini, yaitu :

Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa setiap kulit dari binatang yang sudah mati dapat disucikan dengan penyamakan kecuali kulit "anjing", "babi", atau binatang yang terlahir dari salah satu dari keduanya. Mereka meriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Masud ra.


Salah satu riwayat yang masyhur dari Ahmad dan juga dari Malik bahwa penyamakan tidaklah dapat mensucikan samasekali kulit dari binatang yang telah mati. Ini juga riwayat dari Umar bin Khottob, anaknya dan Aisyah ra, istri Muhammad saw.


Auza’i, Ibnul Mubarok, Abu Tsaur, Ishaq bin Rohuyah berpendapat bahwa penyamakan dapat mensucikan setiap kulit dari binatang yang dapat dimakan saja tidak dari yang lainnya.


Madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit kecuali kulit "babi".


Pendapat yang masyhur juga dari Malik bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit, namun pensuciannya hanyalah pada bagian luarnya saja bukan dalamnya maka ia hanya digunakan untuk sesuatu yang padat bukan cair, sholat diatasnya bukan didalamnya.


Daud, Ahli Zhohir, diceritakan juga dari Abu Yusuf bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit termasuk "anjing" dan "babi" baik bagian luar maupun dalamnya.


Zuhri berpendapat bahwa kulit dari binatang yang sudah mati dapat dimanfaatkan walaupun tidak disamak dan diperbolehkan menggunakannya dalam keadaan kering maupun basah, ini adalah pendapat yang aneh.

[ Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz IV hal 72 – 73 ]
Perbedaan yang terjadi dikalangan para ulama tersebut didalam masalah ini adalah adanya pertentangan diantara dalil-dalil yang berbicara tentang hal ini, yaitu :
Telah bercerita Ma’mar dari Zuhri, Maimunah berkata, Rasulullah saw bersabda, ”Tidakkah engkau manfaatkan kulitnya?” [ HR. Abu Daud ]


Hadits yang diriwayatkan dari ‘Akim berkata, ”Telah dibacakan dihadapan kami surat dari rasulullah saw di daerah Juhainah, dan saya saat itu adalah seorang remaja, isinya; ‘Janganlah kalian memanfaatkan kulit maupun urat dari binatang yang telah mati.” [ HR. Abu Daud ]


Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata,”Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda, ”Apabila sebuah kulit sudah disamak maka ia telah suci.” [ HR. Muslim ]
Beberapa tanggapan terhadap dalil-dalil tersebut :

Terhadap hadits yang diriwayatkan dari Maimunah tersebut, Imam Nawawi mengatakan bahwa Zuhri hanya meriwayatkan, ”Tidakkah engkau memanfaatkan kulitnya.” Beliau tidak menyebutkan penyamakannya dan dijawab olehnya bahwa hadits ini bersifat mutlak, padahal ada riwayat-riwayat lainnya yang menyebutkan tentang penyamakannya, yaitu bahwa penyamakan kulit tersebut dapat mensucikannya.


Sedangkan terhadap hadits ‘Akim telah terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam penggunaan hadits tersebut sebagai dalil. Sebagian ulama lebih mendahulukan hadits penyamakan terhadap hadits ‘Akim, dikarenakan hadits tentang penyamakan ini shohih artinya terhindar dari kekacauan. Mereka mengecam hadits ‘Akim karena dianggap terjadi kekacauan dalam sanadnya. Sedangkan sebagian yang lain lebih mendahulukan hadits ‘Akim, dikarenakan para perawinya yang dapat dipercaya. Mereka mengatakan bahwa kekacauan dalam sanadnya tidaklah menghalanginya untuk dipakai sebagai dalil…

Sebagian ulama mengamalkan seluruh hadits dan mengatakan bahwa tidak ada pertentangan diantara hadits-hadits tersebut. Hadits ‘Akim menyebutkan adanya pelarangan terhadap memanfaatkan kulit dari binatang yang sudah mati.Adapun al ihaab disitu maksudnya kulit yang belum disamak, sebagaimana pendapat An Nadhor bin Syumail. Al Jauhari mengatakan bahwa al ihaab adalah kulit yang belum disamak, bentuk pluralnya adalah uhub. Sedangkan hadits-hadits tentang penyamakannya menunjukkan dalil untuk memanfaatkannya setelah disamak, maka tidak ada pertentangan didalamnya. [ Aunul Ma’bud juz XI hal 135 ]


Adapun hadits yang ketiga tidak disangsikan lagi akan keshahihannya.

Namun ada pendapat lain yang menentang hadist ini, bahwa meskipun ada sabda rasulullah saw,”Apabila sebuah kulit sudah disamak maka ia telah suci.” [ HR. Muslim ] diatas namun ia tidak bisa digunakan secara mutlak untuk seluruh jenis kulit dari binatang yang telah mati. Penyamakan tetap tidak bisa mensucikan kulit "anjing" dan "babi" dikarenakan najisnya kedua binatang itu mencakup keseluruhan yang ada pada tubuhnya, termasuk kulit dan bulunya, sebagaimana pendapat jumhur ulama. “Yang benar adalah bahwa kulit "babi" tidaklah dapat disucikan dengan disamak karena najisnya bukanlah pada darahnya atau pada saat dia basah akan tetapi pada dzatnya.” [ Bada’iush Shona’I juz I hal 370 ].
. . .

sumber: http://www.eramuslim.com

HUKUM ISLAM TENTANG SEPATU SANDAL TERBUAT DARI KULIT BABI [4]
KESIMPULAN


Berdasarkan pada ayat Al Qur`an bahwa yang haram dari "babi" adalah memakan "lahma kinzir" atau "daging "babi"", dan berdasarkan pada Al Hadits shahih riwayat Imam Muslim dari Ibnu Abas bahwa ”jika kulit sudah disamak maka ia telah suci”:

Menggunakan sepatu, sandal, tas, atau pakaian, terbuat dari kulit "babi" bagi seorang muslim adalah halal, tidak haram, alias diperbolehkan.

Berdasarkan pada pendapat jumhur ulama:

Menggunakan sepatu, sandal, tas, atau pakaian, terbuat dari kulit "babi" bagi seorang muslim adalah haram, alias tidak diperbolehkan, walaupun kulit yang digunakan untuk itu sudah disamak terlebih dahulu.

Pilihan ada pada anda, apakah berpegang pada Al Qur`an dan Al Hadist secara langsung, ataukah pada pendapat jumhur ulama.
Sumber email: THUNDER RIDER thunder@inmail24. com
Subject: [www.suzuki- thunder.net] RELIGi: Apakah Kulit babi Diharamkan Bagi Muslim?
To: "KOSTER Group Mailing List"
Date: Thursday, 7 May, 2009, 3:19 PM

Category: ,

About GalleryBloggerTemplates.com:
GalleryBloggerTemplates.com is Free Blogger Templates Gallery. We provide Blogger templates for free. You can find about tutorials, blogger hacks, SEO optimization, tips and tricks here!

4 comments:

  1. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah penyamakan terhadap kulit dari binatang yang sudah mati. Terdapat tujuh pendapat dalam hal ini, yaitu :

    1. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa setiap kulit dari binatang yang sudah mati dapat disucikan dengan penyamakan kecuali kulit anjing, babi, atau binatang yang terlahir dari salah satu dari keduanya... Mereka meriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Masud ra.

    2. Salah satu riwayat yang masyhur dari Ahmad dan juga dari Malik bahwa penyamakan tidaklah dapat mensucikan sama sekali kulit dari binatang yang telah mati. Ini juga riwayat dari Umar bin Khottob, anaknya dan Aisyah ra.

    3. Auza’i, Ibnul Mubarok, Abu Tsaur, Ishaq bin Rohuyah berpendapat bahwa penyamakan dapat mensucikan setiap kulit dari binatang yang dapat dimakan saja tidak dari yang lainnya.

    4. Madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit kecuali kulit babi.

    5. Pendapat yang masyhur juga dari Malik bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit, namun pensuciannya hanyalah pada bagian luarnya saja bukan dalamnya maka ia hanya digunakan untuk sesuatu yang padat bukan cair, sholat diatasnya bukan didalamnya.

    6. Daud, Ahli Zhohir, diceritakan juga dari Abu Yusuf bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit termasuk anjing dan babi baik bagian luar maupun dalamnya.

    7. Zuhri berpendapat bahwa kulit dari binatang yang sudah mati dapat dimanfaatkan walaupun tidak disamak dan diperbolehkan menggunakannya dalam keadaan kering maupun basah, ini adalah pendapat yang aneh.. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz IV hal 72 – 73)

    Perbedaan yang terjadi dikalangan para ulama tersebut didalam masalah ini adalah adanya pertentangan diantara dalil-dalil yang berbicara tentang hal ini, yaitu :

    1. Telah bercerita Ma’mar dari Zuhri dengan hadits ini dan tidak menyebutkan Maimunah dan berkata, Rasulullah saw bersabda,”Tidakkah engkau manfaatkan kulitnya?” (HR. Abu Daud)

    2. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Akim berkata,”Telah dibacakan dihadapan kami surat dari Rasulullah saw di daerah Juhainah, dan saya saat itu adalah seorang remaja, isinya; ‘Janganlah kalian memanfaatkan kulit maupun urat dari binatang yang telah mati.” (HR. Abu Daud)

    3. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata,”Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Apabila sebuah kulit sudah disamak maka ia telah suci.” (HR. Muslim)

    Beberapa tanggapan terhadap dalil-dalil tersebut :

    1. Terhadap hadits yang diriwayatkan dari Maimunah tersebut, Imam Nawawi mengatakan bahwa Zuhri hanya meriwayatkan, ”Tidakkah engkau memanfaatkan kulitnya.” Beliau tidak menyebutkan penyamakannya dan dijawab olehnya bahwa hadits ini bersifat mutlak, padahal ada riwayat-riwayat lainnya yang menyebutkan tentang penyamakannya, yaitu bahwa penyamakan kulit tersebut dapat mensucikannya.

    2. Sedangkan terhadap hadits ‘Akim telah terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam penggunaan hadits tersebut sebagai dalil. Sebagian ulama lebih mendahulukan hadits penyamakan terhadap hadits ‘Akim, dikarenakan hadits tentang penyamakan ini shohih artinya terhindar dari kekacauan. Mereka mengecam hadits ‘Akim karena dianggap terjadi kekacauan dalam sanadnya.

    Sedangkan sebagian yang lain lebih mendahulukan hadits ‘Akim, dikarenakan para perawinya yang dapat dipercaya. Mereka mengatakan bahwa kekacauan dalam sanadnya tidaklah menghalanginya untuk dipakai sebagai dalil…

    Sebagian ulama mengamalkan seluruh hadits dan mengatakan bahwa tidak ada pertentangan diantara hadits-hadits tersebut. Hadits ‘Akim menyebutkan adanya pelarangan terhadap memanfaatkan kulit dari binatang yang sudah mati. Al Ihaab disitu maksudnya kulit yang belum disamak, sebagaimana pendapat an Nadhor bin Syumail. Al Jauhari mengatakan bahwa al ihaab adalah kulit yang belum disamak, bentuk pluralnya adalah uhub. Sedangkan hadits-hadits tentang penyamakannya menunjukkan dalil untuk memnafaatkannya setelah disamak, maka tidak ada pertentangan didalamnya. (Aunul Ma’bud juz XI hal 135)

    3. Adapun hadits yang ketiga tidak disangsikan lagi akan keshahihannya

    Meskipun ada sabda Rasulullah saw,”Apabila sebuah kulit sudah disamak maka ia telah suci.” (HR. Muslim) diatas namun ia tidak bisa digunakan secara mutlak untuk seluruh jenis kulit dari binatang yang telah mati.

    Penyamakan tetap tidak bisa mensucikan kulit anjing dan babi dikarenakan najisnya kedua binatang itu mencakup keseluruhan yang ada pada tubuhnya, termasuk kulit dan bulunya, sebagaimana pendapat jumhur ulama.

    “Yang benar adalah bahwa kulit babi tidaklah dapat disucikan dengan disamak karena najisnya bukanlah pada darahnya atau pada saat dia basah akan tetapi pada dzatnya.” (Bada’iush Shona’I juz I hal 370)

    Jadi menggunakan pakaian, tas maupun sepatu yang terbuat dari kulit babi bagi seorang muslim adalah tidak diperbolehkan walaupun kulit yang digunakan untuk itu sudah disamak terlebih dahulu, sebagaimana pendapat jumhur ulama diatas.

    Wallahu A’lam

    ReplyDelete
  2. Wah bagus nih tanggapannya, hayu..ada yg punya pendapat lagi ? Jadi tambah ilmu nih

    ReplyDelete
  3. Pendapat jumhur ulama juga berpegang kepada Al Qur'an dan hadits dengan pemahaman yg didukung ilmu dan ketaqwaan.

    ReplyDelete
  4. Pendapat jumhur ulama juga berpegang kepada Al Qur'an dan hadits dengan pemahaman yg didukung ilmu dan ketaqwaan.

    ReplyDelete

Mohon kiranya dapat berpartisipasi memberikan komentar pada postingan yang anda baca. Terimakasih

Blog Friend's